Translate

Minggu, 29 Mei 2016

Hati yang tidak lagi utuh

Akhir-akhir ini gue terusik dengan cerita seorang teman yang menganggap dirinya sendiri bodoh. Merasa bodoh karena dia tak bisa menghilangkan rasa sayangnya pada seseorang. Merasa bodoh karena tahu setengah hatinya telah dibawa pergi namun masih berharap suatu saat, setengah hati yang hilang akan kembali. Merasa bodoh karena dia tahu bahwa kemungkinan setengah hatinya akan kembali sangatlah kecil, bahkan butuh keajaiban. Tetapi yang utama, dia merasa paling bodoh karena awalnya dialah yang mengoyak setengah hatinya dengan paksa dan membuang setengah hati itu jauh-jauh darinya.
Setengah hatinya… belahan jiwakah itu? Mungkin saja tetapi dia tidak dapat mendeskripsikannya. Satu hal yang ia tahu, bahwa, setelah orang itu pergi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ruang hatinya dulu terasa penuh, namun sekarang terasa begitu luas. Tubuhnya tidak lagi hangat. Dua tangan yang di idam-idamkan melingkar di sekitar pinggangnya dan memberikan kehangatan tidak lagi ada. Matanya sendiri sering memperdaya dirinya sendiri, apa yang dia lihat adalah hal-hal yang ingin ia lihat tetapi sebenarnya tidak nyata. Seolah berkoalisi, pikirannya pun ikut serta. Delusi di siang hari menjadi hal yang biasa. Wajahnya yang hilang sering menggantung di langit-langit hati dan membayangi kesehariannya.
Cerminnya tidak lagi memperlihatkan refleksi.
Teritorinya telah direbut oleh musuh.
Setengah hatinya kini dijaga oleh seorang adidaya yang lain.
Perjuangan menjadi terasa mustahil.
Tetapi apa bisa dikata, hati yang masih dia miliki merongrong meminta belahan jiwanya yang lain.  
Sudah berapa waktu terlewati. Jemari yang dia miliki sudah tidak bisa merepresentasikan jumlah pasti detik-detik yang terbuang. Katanya, waktu yang akan menyembuhkan, siapa bilang? nyata-nyatanya hatinya masih saja berharap. Dia berusaha meneriaki hatinya dan memukul-mukul dadanya untuk mengusir rasa itu tetapi hatinya terlalu keras kepala.
Pernah terbersit dalam kepalanya untuk menulis kata-kata penutup dalam hidupnya karena mencintai begitu berat sekaligus berkat. Rasa itu tak tertahankan, katanya. Rasa itu dapat meremas satu tubuh hingga lunglai, lemas satu tubuh. Untungnya, ada tangan-tangan tak terlihat yang menariknya dari halaman terakhir dalam buku kehidupannya.
Gue terenyuh mendengar ceritanya dan sempat terperanjat karena mendengar dua kalimat yang keluar dari dirinya,
"Ada kalanya dia adalah tameng yang aku punya," lalu ia melanjutkan,"Dan sekarang aku harus kehilangan".
Sesuatu yang baginya adalah racun, bisa menjadi tameng secara bergantian. Kehilangan yang dia maksud bukan karena ketidaksengajaan. Sebelum semuanya terjadi, kedua-duanya mempunyai perasaan yang sama, bukan bertepuk sebelah tangan, namun keberanian mereka tidaklah cukup. Terkadang, mencintai seseorang bisa menjadi sebuah momok, dan itu terlihat dalam dirinya yang dahulu.
Gue baru percaya sekarang, bahwa bagi seseorang, bisa saja lo adalah dunianya. Ketika dunia itu direnggut, entah itu sengaja atau tidak sengaja, semua terasa berbalik menjadi tidak karuan. Untuk mengembalikan kembali dunianya, bukanlah hal yang mudah, bahkan terkadang terasa mustahil. Hal-hal gila dilakukan dan pada akhirnya, merasa bodoh karena perjuangannya terasa sia-sia.

You’ve got every right to be happy and have a beautiful life.

Jumat, 20 Mei 2016

Salah hujan

Apa yang salah dengan hujan?
Saat hujan datang, dan dipadu padankan dengan jendela, hujan selalu disalahkan terhadap birunya hidup manusia.
Ada juga hujan yang turun di tengah-tengah hangatnya secangkir kopi hitam dan biskuit, katanya tidak ada yang bisa mengganti momen yang tercipta.
Lalu hujan yang menembus tanah tanpa disertai gelombang penggetar langit, menggenapkan hari mereka. Petrichor.
Dicari-cari saat kering, dihina-hina saat berlebih.
Hujan yang tak bernyawa, seakan berpengaruh besar dalam setiap langkah manusia. Tidak tahu apa yang sedang terjadi, tidak paham apa yang diakibatkannya, hanya berputar ke dalam tanah, mengalir ke laut, lalu berputar kembali menjadi hujan dari awan.
Hujan ini sudah cukup lama berlalu tanpa memberi kesempatan kemarau untuk berkuasa.
Sesederhana mengikuti apa kehendak semesta.
Apakah itu salah hujan?

Jumat, 13 Mei 2016

Yang tak pernah sampai

Terlalu banyak tujuan, terlalu banyak cerita, terlalu banyak hal yang seharusnya dilakukan bukan hanya dibicarakan.

Tentang pembelaan diri, tentang menyikapi diri, tentang bagaimana seharusnya kaki menginjak jalan.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku berjalan konstan sedangkan kamu lari tergesa- gesa namun berhenti di tengah-tengah.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku terus berlari sedangkan kamu lelah bergerak dan ingin terus istirahat.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku harus menunggu mu terus hingga kamu berubah dan berlari lagi bersama ku seperti kemarin-kemarin yang kini sudah menjadi hal yang tidak seharusnya dibicarakan lagi.

Kita terlalu menikmati waktu istirahat yang panjang, hingga lupa bahwa kita punya tujuan, tujuan yang amat sangat penting untuk ku, tujuan yang semestinya cepat-cepat direalisasikan.

Kita lupa,

Kita lupa tujuan awal kita, hingga akhirnya semuanya berubah seiring dengan istirahat kita yang terlalu lama...
Dan tak pernah sampai.