Translate

Minggu, 30 April 2017

Sayonara

Gonna leave this site (maybe for awhile, maybe forever.)

Catch me up on http://oddlywhisper.tumblr.com for more of my junks.

Love, me.

Minggu, 29 Mei 2016

Hati yang tidak lagi utuh

Akhir-akhir ini gue terusik dengan cerita seorang teman yang menganggap dirinya sendiri bodoh. Merasa bodoh karena dia tak bisa menghilangkan rasa sayangnya pada seseorang. Merasa bodoh karena tahu setengah hatinya telah dibawa pergi namun masih berharap suatu saat, setengah hati yang hilang akan kembali. Merasa bodoh karena dia tahu bahwa kemungkinan setengah hatinya akan kembali sangatlah kecil, bahkan butuh keajaiban. Tetapi yang utama, dia merasa paling bodoh karena awalnya dialah yang mengoyak setengah hatinya dengan paksa dan membuang setengah hati itu jauh-jauh darinya.
Setengah hatinya… belahan jiwakah itu? Mungkin saja tetapi dia tidak dapat mendeskripsikannya. Satu hal yang ia tahu, bahwa, setelah orang itu pergi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ruang hatinya dulu terasa penuh, namun sekarang terasa begitu luas. Tubuhnya tidak lagi hangat. Dua tangan yang di idam-idamkan melingkar di sekitar pinggangnya dan memberikan kehangatan tidak lagi ada. Matanya sendiri sering memperdaya dirinya sendiri, apa yang dia lihat adalah hal-hal yang ingin ia lihat tetapi sebenarnya tidak nyata. Seolah berkoalisi, pikirannya pun ikut serta. Delusi di siang hari menjadi hal yang biasa. Wajahnya yang hilang sering menggantung di langit-langit hati dan membayangi kesehariannya.
Cerminnya tidak lagi memperlihatkan refleksi.
Teritorinya telah direbut oleh musuh.
Setengah hatinya kini dijaga oleh seorang adidaya yang lain.
Perjuangan menjadi terasa mustahil.
Tetapi apa bisa dikata, hati yang masih dia miliki merongrong meminta belahan jiwanya yang lain.  
Sudah berapa waktu terlewati. Jemari yang dia miliki sudah tidak bisa merepresentasikan jumlah pasti detik-detik yang terbuang. Katanya, waktu yang akan menyembuhkan, siapa bilang? nyata-nyatanya hatinya masih saja berharap. Dia berusaha meneriaki hatinya dan memukul-mukul dadanya untuk mengusir rasa itu tetapi hatinya terlalu keras kepala.
Pernah terbersit dalam kepalanya untuk menulis kata-kata penutup dalam hidupnya karena mencintai begitu berat sekaligus berkat. Rasa itu tak tertahankan, katanya. Rasa itu dapat meremas satu tubuh hingga lunglai, lemas satu tubuh. Untungnya, ada tangan-tangan tak terlihat yang menariknya dari halaman terakhir dalam buku kehidupannya.
Gue terenyuh mendengar ceritanya dan sempat terperanjat karena mendengar dua kalimat yang keluar dari dirinya,
"Ada kalanya dia adalah tameng yang aku punya," lalu ia melanjutkan,"Dan sekarang aku harus kehilangan".
Sesuatu yang baginya adalah racun, bisa menjadi tameng secara bergantian. Kehilangan yang dia maksud bukan karena ketidaksengajaan. Sebelum semuanya terjadi, kedua-duanya mempunyai perasaan yang sama, bukan bertepuk sebelah tangan, namun keberanian mereka tidaklah cukup. Terkadang, mencintai seseorang bisa menjadi sebuah momok, dan itu terlihat dalam dirinya yang dahulu.
Gue baru percaya sekarang, bahwa bagi seseorang, bisa saja lo adalah dunianya. Ketika dunia itu direnggut, entah itu sengaja atau tidak sengaja, semua terasa berbalik menjadi tidak karuan. Untuk mengembalikan kembali dunianya, bukanlah hal yang mudah, bahkan terkadang terasa mustahil. Hal-hal gila dilakukan dan pada akhirnya, merasa bodoh karena perjuangannya terasa sia-sia.

You’ve got every right to be happy and have a beautiful life.

Jumat, 20 Mei 2016

Salah hujan

Apa yang salah dengan hujan?
Saat hujan datang, dan dipadu padankan dengan jendela, hujan selalu disalahkan terhadap birunya hidup manusia.
Ada juga hujan yang turun di tengah-tengah hangatnya secangkir kopi hitam dan biskuit, katanya tidak ada yang bisa mengganti momen yang tercipta.
Lalu hujan yang menembus tanah tanpa disertai gelombang penggetar langit, menggenapkan hari mereka. Petrichor.
Dicari-cari saat kering, dihina-hina saat berlebih.
Hujan yang tak bernyawa, seakan berpengaruh besar dalam setiap langkah manusia. Tidak tahu apa yang sedang terjadi, tidak paham apa yang diakibatkannya, hanya berputar ke dalam tanah, mengalir ke laut, lalu berputar kembali menjadi hujan dari awan.
Hujan ini sudah cukup lama berlalu tanpa memberi kesempatan kemarau untuk berkuasa.
Sesederhana mengikuti apa kehendak semesta.
Apakah itu salah hujan?

Jumat, 13 Mei 2016

Yang tak pernah sampai

Terlalu banyak tujuan, terlalu banyak cerita, terlalu banyak hal yang seharusnya dilakukan bukan hanya dibicarakan.

Tentang pembelaan diri, tentang menyikapi diri, tentang bagaimana seharusnya kaki menginjak jalan.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku berjalan konstan sedangkan kamu lari tergesa- gesa namun berhenti di tengah-tengah.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku terus berlari sedangkan kamu lelah bergerak dan ingin terus istirahat.

Bagaimana bisa mencapai tujuan bersama jika aku harus menunggu mu terus hingga kamu berubah dan berlari lagi bersama ku seperti kemarin-kemarin yang kini sudah menjadi hal yang tidak seharusnya dibicarakan lagi.

Kita terlalu menikmati waktu istirahat yang panjang, hingga lupa bahwa kita punya tujuan, tujuan yang amat sangat penting untuk ku, tujuan yang semestinya cepat-cepat direalisasikan.

Kita lupa,

Kita lupa tujuan awal kita, hingga akhirnya semuanya berubah seiring dengan istirahat kita yang terlalu lama...
Dan tak pernah sampai.

Rabu, 25 Maret 2015

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono)

Jadi, tadi siang. Salah satu teman gue menyetel suatu lagu yang liriknya sangat menarik perhatian gue. Dan ternyata lirik lagu tersebut adalah suatu puisi karya Sapardi Djoko Damono, yang pada tahun 1989 dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo dalam bentuk musikalisasi puisi yang indah, lalu belum lama ini juga digubah ulang oleh Dwiki Darmawan sebagai OST film Cinta Dalam Sepotong Roti. youtube
Indah sekali kata-katanya, yang mungkin ditulis dengan makna sebuah cinta yang benar-benar sederhana. Gue pun semakin penasaran dengan maksud dibalik puisi tersebut.

MUNGKIN MAKSUDNYA INI?
Filsafat Yunani mengenal empat buah kata untuk menerjemahkan kata “Cinta”, yaitu “Eros”, “Philia”, “Storge”, dan “Agape”.
“Eros” adalah cinta romantis yang juga menyiratkan keinginan untuk memiliki dan dimiliki. “Philia” adalah cinta yang bukan berada dalam konteks romantis, melainkan cenderung kepada persahabatan. Tidak ada keinginan untuk saling memiliki, melainkan sudah tahu sama tahu bahwa saling bisa mengandalkan. “Storge” merujuk kepada sebuah kasih sayang yang alami datang akibat hubungan darah. Sedangkan “Agape” adalah cinta yang bersifat lebih rohaniah dan sederhana. Altruistik. Tidak mengharapkan apapun untuk dirinya sendiri. Hanya ingin memberi.
“Ambillah. Semuanya untukmu.” Sesederhana itu.
Mungkin seperti itulah yang dimaksud oleh Sapardi Djoko Damono. Kayu hanya diam saja saat dilalap api sehingga kayu itupun habis dan hangus. Demikian pula awan, saat hujan turun dan sedikit demi sedikit mengikisnya menjadi habis.
Kata cinta apa yang tak sempat disampaikan oleh kayu dan awan itu ya?
“Ambillah. Semuanya untukmu.” Barangkali itu.

TAPI MUNGKIN JUGA..
Gue dulu memang suka berpuisi. Tapi hobi gue menganalisis secara logis. Gue pun dulu dan sampai sekarang masih membaca buku-buku sastra dan filosofi milik nyokap gue yang sangat banyak dan itu sangat mempengaruhi pola pikir gue secara filsafat dalam memaknai hidup ini dan semua yang melintas di dalamnya.
Melihat puisi dari Sapardi Djoko Damono ini, mungkin saja memang yang di atas itulah yang dimaksud oleh beliau. Dan itu indah sekali dalam kesederhanaannya itu, dan sederhana sekali dalam keindahannya itu.
Akan tetapi, dengan latar belakang tersebut, gue kok menemukan makna lain ya dari puisi ini.
Api adalah sebuah hasil suatu reaksi oksidasi (pembakaran), dan hanya bisa terjadi jika ada bahan yang dibakar. Proses pembakaran menghasilkan cahaya, panas, dan lain sebagainya.
Satu hal yang gue sadari jika melihat api membakar kayu: Saat kayunya habis, apinya juga hilang.
Saat kayunya ditambah, itu sudah oksidasi yang berbeda dengan yang sebelumnya. Ibaratnya meneguk air untuk menghilangkan haus, lalu kemudian haus lagi, dan minum air lagi. Haus yang kedua sudah beda dengan haus yang pertama, demikian pula airnya.
“..kayu…api yang menjadikannya abu.”
Kayunya menjadi abu.
Apinya kan mati tuh. Kemana apinya?
Juga menjadi abu.
Justru abu itu adalah hasil reaksi sempurna antara api dan kayu. Secara harafiah yang paling harafiah: menyatu
Sangat sederhana:  Bukan lagi “Aku” dan “Kamu”, tapi “Kita”.
Sangat sederhana: Dua yang menyatu.
Lalu awan dan hujan. Awan itu adalah air berbentuk gas. Hujan adalah meluruhnya awan, sehingga dengan adanya hujan, awannya pun terus mengecil dan akhirnya hilang karena menjadi hujan. Tanpa terkikis dan menghilangnya awan, hujan tidak mungkin datang.
Bisa saja berarti “aku menjadi kamu”. Bisa jadi ini adalah sebuah siklus, layaknya sebuah rantai makanan. Rumput dimakan oleh rusa yang dimakan oleh singa yang akan mati dan dimakan cacing untuk menggemburkan tanah dan kembali menjadi rumput. Sederhana: the cycle of life.
Bisa juga berarti “biarlah aku mati agar kamu dapat hidup”. Mungkin saja seperti seorang Ibu yang wafat saat melahirkan anaknya? Mengorbankan nyawanya sendiri supaya anaknya dapat bertahan hidup, padahal sang Ibu bisa saja meminta bidan untuk melakukan sebaliknya. Sederhana: ambillah, dan milikilah nyawaku.
Ambillah, semua untukmu.

Minggu, 22 Maret 2015

Kisah Klasik

Bayangin, lo sedang berada di jalan yang baru. Lalu disana lo bertemu dengan orang baru juga. Kalian bercerita banyak hal dan lupa waktu. Lama kelamaan, kalian dekat tapi sedekat apapun kalian tetap nggak akan ada perasaan. Kalian saling menyadari hal itu dan kalian menyebut diri kalian.. "teman dekat".

Setiap hari dia selalu datang menemani lo di jalan baru itu. Jika jalannya terjal, dia berusaha menolong, menopang lo. Jika jalannya curam, dia akan membopong lo. Dan, perasaan "nyaman" itu datang.

Lo mulai terbiasa dengan kehadirannya. Lo mulai hafal dengan apa dia akan marah, sedih, kecewa. Lo tau kesukaannya dan keinginan terbesar dia di masa depan. Dia pun juga. Sayangnya, dia tiba-tiba saja menghilang di suatu hari.

Lo benar-benar merasa kehilangan sosok dia. Merasa ada yang kosong dan hampa. Rutinitas yang biasa lo lakukan dengan dia menjadi suatu kekosongan. Kekosongan yang lo sendiri merasa nggak bersemangat dan nggak berdaya lagi melakukan apapun.

Waktu terus berlalu, dan dia belum juga menampakkan diri. Lalu lo larut dalam kegundahan dan kesedihan. Lo merasa hampa. Di titik itu, lo sudah sangat tau betul bahwa lo benar-benar terlambat menyadari perasaan suka, nyaman, sayang lo ke dia. Di titik itu juga lo tau, bahwa pepatah "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali" tidak mempunyai arti apa-apa. Semua sudah terlambat dan dia telah pergi, entah kembali, entah tidak.

Malam, dia datang membawa kenyenyakan, lalu pergi meninggalkan mimpi semalam.

Jumat, 13 Maret 2015

Baik & Buruk

Apakah memang ada sesuatu yang diciptakan "baik" dan diciptakan "buruk" secara mutlak?
Atau “baik” dan “buruk” itu sebenarnya hanyalah ukuran tertentu, dalam kondisi tertentu, dan di waktu tertentu. Bukan label dari sesuatu itu sendiri.

Kalau gue berkata peduli itu baik.
Maka yang sebenarnya adalah, peduli yang dilakukan tidak lebih atau kurang kadarnya. Kepedulian gue berada dalam kondisi yang mendukung. Dan kepedulian gue ada di waktu yang tepat.
Dengan demikian, kepedulian itu baik.

Lalu bagaimana kalau gue mempedulikan hal yang seharusnya diabaikan? Rahasia kisah sedih orang lain misalnya. Kemudian gue menunjukkan kepedulian itu dengan menghiburnya di depan umum padahal itu rahasia?
Jika begitu, peduli adalah sesuatu yang buruk.

Nah, contoh lainnya lagi..
Bagaimana kalau gue marah saat ada hal yang merusak ketenangan jiwa, dan merusak hal yang gue cintai?
Sementara jika gue tidak marah, berarti gue tidak benar-benar mencintai..
Bagi gue, marah itu sesuatu yang baik disini.

Tapi, kalau gue mengomel sepanjang hari pada siapapun, merusak fasilitas publik, bahkan menembaki orang yang tak bersalah, sangat berlebihan kadarnya.
Tentu saja, marah itu menjadi buruk.

Jadi.. Apakah benar kalau gue menganggap sesuatu yang baik adalah sesuatu dengan ukuran yang tepat, kondisi yang mendukung, dan waktu yang pas? Bukan label dari sesuatu itu sendiri?