Kita lahir, dari sebuah benih yang terlihat tak bernyawa. Berubah bentuk dan ditempa oleh kelembutan seorang ibu. Kita hanyalah satu dari sekian juta sperma yang berhasil membuahi telur, kita ini satu dari sekian yang gagal. Perubahan itu terbentuk dengan cepat. Yang semula hanyalah segumpal darah yang berdetak, tercipta satu manusia utuh dan sempurna. Bernyawa dan hidup, namun bergantung pada satu jiwa yang melindunginya, sang ibu.
Sebelum menginjakkan mampu menjejakkan kaki ke dunia ini, bernafas adalah hal utama yang harus dilakukan. Bahkan tangis yang kita punya adalah tanda kehidupan seorang manusia. Bukan kelemahan, bukan kesedihan tapi merupakan tanda kehidupan.
Terjatuh dan terantuk, sebelum itu kita hanya bisa merangkak. Kita mencoba berupaya untuk berdiri, meski rasanya sakit saat terjatuh, tanpa sadar kita menangis. Karena sakit dan takut menguasai emosi. Tapi kita tak lelah mencoba dan terjatuh lagi. Kemudian tangis kehidupan itu muncul lagi. Sampai kita berhasil berdiri. Hingga tumbuh besar dan mampu berlari, meski kadang terjatuh dan menangis lagi.
Metamorfosis, tangis yang semula tanda kehidupan akhirnya menjadi tanda kesakitan fisik.
Mengenal dunia, berarti mengenal manusia lainnya. Mengenal sesuatu yang berbeda, yang bukan diri kita sendiri. Kita menjadi takut menangis karena semakin dewasa, jarang melihat seseorang menangis. Terlebih lagi, kita jarang melihat orang dewasa menangis kecuali dalam televisi. Seolah tangis itu tak nyata, tangis itu harus ditutupi.
Apa hanya karena kita takut menunjukkan kita lemah? Atau memang tangis itu menunjukkan kelemahan kita? Mengapa semula kita yang hidup dari menangis akhirnya menjadi takut untuk menangis? Perubahan apa yang ada di dunia kita? Metamorfosa yang diharapkan dari seekor ulat menjadi kupu-kupu adalah suatu perubahan yang lebih baik. Namun tangis yang kita miliki berubah menjadi kelemahan di mata orang lain.
Ada waktu, di satu titik yang katanya pendewasaan, satu titik yang kupercaya adalah titik penderitaan, di mana kita berhenti menangis. Berhenti merasakan, karena merasakan sakit dan menangis hanya menunjukkan kelemahan dan menjadi aib. Menangis hanya mencari simpati, kata mereka. Karena berjuta kali kita menangis dalam hati namun tak setitik pun air mata terjatuh.
Apa lagi yang harus hilang? Setelah rasa dan tangis pun tiada? Perlukah pedih itu kembali saat kehilangan mereka yang dicintai? Hanya untuk memberi rasa dan memuntahkannya ke bumi? Sama seperti gunung yang meletus dan menutupi langit dengan debu dan asapnya. Seperti itu juga gelapnya hati saat rasa kembali dengan dentuman sekeras bom.
Metamorfosa yang diharapkan menghasilkan keindahan, pada akhirnya membawa perubahan yang drastis. Keindahan itu akan terasa jauh saat proses kepahitan menyerang. Fase hidup menunjukkan itu semua, kita merasa hidup dari menangis berganti kepada tangis karena sakit fisik. Muncul detik di mana kita berhenti menangis sampai kepada pecahlah segala rasa layaknya gelas berisi air itu jatuh ke lantai. Mungkin, karena rasa hidup adalah segalanya.