Translate

Senin, 29 Juli 2013

Metamorfosa

Kita lahir, dari sebuah benih yang terlihat tak bernyawa. Berubah bentuk dan ditempa oleh kelembutan seorang ibu. Kita hanyalah satu dari sekian juta sperma yang berhasil membuahi telur, kita ini satu dari sekian yang gagal. Perubahan itu terbentuk dengan cepat. Yang semula hanyalah segumpal darah yang berdetak, tercipta satu manusia utuh dan sempurna. Bernyawa dan hidup, namun bergantung pada satu jiwa yang melindunginya, sang ibu.
Sebelum menginjakkan mampu menjejakkan kaki ke dunia ini, bernafas adalah hal utama yang harus dilakukan. Bahkan tangis yang kita punya adalah tanda kehidupan seorang manusia. Bukan kelemahan, bukan kesedihan tapi merupakan tanda kehidupan.
Terjatuh dan terantuk, sebelum itu kita hanya bisa merangkak. Kita mencoba berupaya untuk berdiri, meski rasanya sakit saat terjatuh, tanpa sadar kita menangis. Karena sakit dan takut menguasai emosi. Tapi kita tak lelah mencoba dan terjatuh lagi. Kemudian tangis kehidupan itu muncul lagi. Sampai kita berhasil berdiri. Hingga tumbuh besar dan mampu berlari, meski kadang terjatuh dan menangis lagi.
Metamorfosis, tangis yang semula tanda kehidupan akhirnya menjadi tanda kesakitan fisik.
Mengenal dunia, berarti mengenal manusia lainnya. Mengenal sesuatu yang berbeda, yang bukan diri kita sendiri. Kita menjadi takut menangis karena semakin dewasa, jarang melihat seseorang menangis. Terlebih lagi, kita jarang melihat orang dewasa menangis kecuali dalam televisi. Seolah tangis itu tak nyata, tangis itu harus ditutupi.
Apa hanya karena kita takut menunjukkan kita lemah? Atau memang tangis itu menunjukkan kelemahan kita? Mengapa semula kita yang hidup dari menangis akhirnya menjadi takut untuk menangis? Perubahan apa yang ada di dunia kita? Metamorfosa yang diharapkan dari seekor ulat menjadi kupu-kupu adalah suatu perubahan yang lebih baik. Namun tangis yang kita miliki berubah menjadi kelemahan di mata orang lain.
Ada waktu, di satu titik yang katanya pendewasaan, satu titik yang kupercaya adalah titik penderitaan, di mana kita berhenti menangis. Berhenti merasakan, karena merasakan sakit dan menangis hanya menunjukkan kelemahan dan menjadi aib. Menangis hanya mencari simpati, kata mereka. Karena berjuta kali kita menangis dalam hati namun tak setitik pun air mata terjatuh.
Apa lagi yang harus hilang? Setelah rasa dan tangis pun tiada? Perlukah pedih itu kembali saat kehilangan mereka yang dicintai? Hanya untuk memberi rasa dan memuntahkannya ke bumi? Sama seperti gunung yang meletus dan menutupi langit dengan debu dan asapnya. Seperti itu juga gelapnya hati saat rasa kembali dengan dentuman sekeras bom.
Metamorfosa yang diharapkan menghasilkan keindahan, pada akhirnya membawa perubahan yang drastis. Keindahan itu akan terasa jauh saat proses kepahitan menyerang. Fase hidup menunjukkan itu semua, kita merasa hidup dari menangis berganti kepada tangis karena sakit fisik. Muncul detik di mana kita berhenti menangis sampai kepada pecahlah segala rasa layaknya gelas berisi air itu jatuh ke lantai. Mungkin, karena rasa hidup adalah segalanya.

Selasa, 23 Juli 2013

Ignorance

People are busy with their own affairs and they’re trying to solve it. Sort of ego that has been released from its leash.
But actually they’re all watching. She’s watching at him, at he’s watching her back. That pedestrian is watching the car rushing. The baby is watching its mom talking on the phone. And that guy, that guy is definitely watching his own fitness by jogging in a rainy day.
And me? I’m watching the sky littering its gorgeous tears of raw.
So nothing is really being ignored. Not a single thing.

Senin, 22 Juli 2013

Satu lagi

Masih tentang hujan. Segerombolan air yang turun dibuang dari angkasa, entah sudah tak dibutuhkan oleh langit, atau memang sengaja dihibahkan sebagai penghargaan. Seperti berkompi-kompi serdadu bermodalkan strategi perang minimalis, menyerang daratan Bumi, beradu dengan tanah. Hujan dan tanah selalu menjadi musuh bebuyutan, namun selalu menciptakan harmoni rasa bagi indera pembauku. Sejak awal mereka turun, sampai nanti gencatan diserukan, hujan bisa membuatku terdiam di sisi teduh, selama apa pun detik, menit bahkan jam yang dibutuhkan. Merekalah pemecut roda gigi dalam otak berputar dalam rotasi-rotasi berkecepatan tinggi, yang menjadikan ilham lahirnya ribuan puisi dan prosa tentang cinta.
Di waktu usai tugasnya, aku kembali mendarat pada realitas, melanjutkan semua yang sengaja kutunda..
..for the best rain I’ve ever had.

Kamis, 18 Juli 2013

Mengadakan yang tidak ada

Mengadakan yang tidak ada, menjadikan alasan untuk berbicara.
Mendadak sekelilingnya membeku, terfokus pada tatapannya yang masuk menelisik harapan.
Lalu ia tersenyum.
Yang hanya bisa dibalas dengan senyuman. Sedangkan indera yang lain hanya terdiam, masih berpikir apa yang akan mereka perbuat selanjutnya.
Mengerikan, namun membahagiakan.
Mengadakan yang tidak ada, menjadikan alasan untuk bercerita. Cerita yang tak memiliki alur. Berkisah hingga senja menyambut, memulai malam yang panjang.
Sempurna.