Translate

Jumat, 05 September 2014

Angin dan Debu

"There are some people who came to your life, don't meant to stay, they just passerby(s) but some will willing to do anything to make you stay in their world."

And that’s absolution.

Even a sacral marriage sometimes doesn't work to make someone stay. I learned a lot.. dari kamu, Angin dan kamu, Debu.

Angin dan debu membuat aku belajar dengan cara yang berbeda. Angin membuat aku selalu sejuk, tapi ketika dia hilang, aku merasakan dingin yang tiada tara, tiada siapa sanggup membuat aku tidak menunggu lagi datangnya angin.
Debu, tentu, dulu ia bukan debu, dulunya ia sesuatu. Sesuatu yang baik, yang lalu terbakar, yang tertinggal hanya debu, dan hal yang tidak di inginkan lagi olehku.
Angin selalu aku damba, sebagaimana angin di pinggir pantai indah yang kita lihat bersama di masa lampau, dan kita berdua sama-sama penyuka keindahan, tapi kita melihat keindahan dengan cara berbeda. Jika aku penikmat keindahan, dia adalah angin yang suka merusak keindahan karena terlalu mendambakan keindahan.

Dalam hidup, kita pasti ada satu jenis angin yang suka membuat keributan, tapi tak tahu kenapa, toh kita candu terhadap keributan yang angin buat.

Pernah aku dulu selalu tidak pernah lupa dengan angin, angin sejuknya selalu ku rindu, dan selalu di rindu tidak hanya olehku tetapi juga orang-orang yang menyayangiku, karena mereka dengan sok tahu nya menganggap angin yang terbaik untuk aku, dan aku pun pernah berpikir seperti itu, karena aku pikir keindahan logika dan hatiku akan bisa disejukkan dan dijaganya dengan baik.
Namun ada saatnya sang angin membawa badai yang mampu merusak keindahan pikiranku. Pikiran yang imajinatif ini, disapu bersih oleh badai, padahal jika dia tahu imajinasiku, kemana pun, adalah serta merta dengan dia juga. Bukan dengan diriku sendiri, dan ini cerita bagaimana angin merusak keindahan pikiran dan logikaku.

Sore itu angin membawa gambar gembira dengan kesejukan khas yang membawa aku pergi dari kepenatan, aku yang telah lelah dihempas angin dan terlalu lelah menutup mata karena angin itu selalu berusaha menutupi penglihatanku. Aku tahu perubahan temperature akan membuat angin berubah menjadi badai,  but I took that risk, for the first time in my life I said to myself "I need to get a break, I think I deserve one, cause life has drag me down, and I need my little wind."
Benar saja apa perkiraanku, dia dapat berubah menjadi badai, well, aku kira dia telah berubah dan lelah menjadi perusak, tapi ternyata tidak, angin terlalu egois, dia mengetahui dia sejuk dan banyak yang ingin merasakan kesejukannya, finally saat dia telah memerangkap keindahan, penjelmaannya hilang.
Aku sudah beratus-ratus kali menghadapi angin badai yang sama, yang ini yang paling besar dan pemarah yang aku kenal, aku bukan pawangnya, tapi aku pernah jadi matahari nya. Sampai di ujung pertemuan sebelum hujan, angin berpamitan, tanpa meminta maaf, tanpa berterima kasih. Dan memang itulah angin, tidak pernah berpamitan.

Dan itu adalah hari terakhir aku menghadapi angin, aku tidak lagi mendamba angin. Mungkin aku selalu rindu kesejukannya di panas yang terik, tapi bukan angin yang aku butuhkan untuk membuat aku menjadi kuat, aku membutuhkan satu bagian dari galaksi yang belum menemukan aku. Satu bagian dari galaksi yang akan mengelilingi aku dengan cahayanya tanpa lelah, tidak perduli hari hujan atau terik, akan selalu ada untuk berkata “Hai bagaimana harimu?"

Itu adalah cerita sang angin, cerita si debu?
Well… Debu dulu adalah hal baik yang sangat aku percaya, sampai salahku untuk membakarnya terlalu cepat, seharusnya aku membakarnya pelan-pelan dan memberinya waktu untuk beradaptasi dengan api ku, tapi aku terlalu tidak sabar, sampai akhirnya dia tertinggal sebagai debu.
Debu mengajari banyak hal dengan waktu yang cepat, sama sepertiku.
Dia memberi aku kobaran api yang besar juga cepat. api itu membakar sampai ke rusuk, sampai sekarang pun hatiku masih dapat merasakan hangatnya, entah itu hangat dari api si debu atau hangatnya kemarahanku.

"Tahukah kamu debu, aku pernah tulus padamu, sampai kita berdua berlomba membakar satu sama lain."

Aku tidak sempurna, kamu pun juga.

Aku hanya kecewa,

Bahwa,

Api yang kau sulut padaku bukan karena kamu mau melihat seberapa kuat aku dengan panasnya api mu, tapi kamu memang hanya ingin membakar aku, dan kamu memang berharap aku terbakar habis dan menyerah.
Bagian-bagian debu yang tertinggal masih memenuhi pelupuk mataku, tapi tidak menutupi penglihatanku lagi, karena sudah ada cahaya sekarang yang dibawa oleh beberapa bintang di langit ku, dan kebetulan api itu sudah padam, api itu kau padamkan karena aku berteriak “Sudah. Aku Pergi…" bukan karena aku berteriak kesakitan.

Setidaknya sekarang aku tahu aku mampu menahan panasnya api mu, dan selamat dari api itu, membuat aku lebih kuat, dan aku tidak akan menjadi debu seperti kamu. Mungkin aku yang membuat kamu menjadi debu karena membakarmu, tapi kamu selalu punya pilihan, tapi kamu hanya beralasan keadaan tidak memihak, sebenarnya itulah kenapa kamu menjadi debu, bukan besi yang lebih kuat karena dipanaskan. Tapi ketahuilah debu, terima kasih banyak atas semua api yang kau sulut, membakarku, penuh luka memang,  toh aku bisa sembuhkan luka ini.

Aku memilih untuk tidak dikalahkan keadaan seperti kamu, bukan, aku bukan yang kalah, dan kamu bukan pemenang.  Hanya saja di akhir cerita aku kuat dan kamu lemah.
Dan satu lagi pelajaran, Bahwa adanya angin, ataupun sesuatu yang menyenangkan, tidak selalu bisa mengisi cawan cawan yang ingin di isi, terkadang, kita sendiri yang harus giat menyenangkan hati orang lain untuk mengisi cawan yang ada.

And last, I know it's a wild world, this story is not a sad story, not a love story, just a part of my crumbles. My crumbles that’s sweet and used to be bigger cookies, not just crumbles. And then know it's my crumbles and I’m still keep it.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar