Translate

Minggu, 23 Maret 2014

Cogito Ergo Sum vs. Opto Ergo Sum

Question of the day:
“Mana duluan: cogito ergo sum atau opto ergo sum?”

Seperti Ouroboros.
Cogito ergo sum adalah ungkapan Descartes yang kira-kira artinya "I think, therefore I exist." Sementara opto ergo sum itu semacam rip-off dari pernyataan Descartes yang berarti "I choose, therefore I exist."
Gue dan temen gue dulu beberapa kali membahas tentang esensi “memilih” atau esensi “membuat keputusan”. Gue sendiri agak lupa konklusinya bagaimana, tetapi satu hal yang masih gue pertanyakan sampai sekarang:
Adakah saat di mana manusia tidak mengambil keputusan?
Keputusan dibuat saat manusia ditawarkan oleh pilihan.

Jadi pertanyaannya gue ubah lagi:
Adakah saat di mana manusia tidak punya pilihan?
Gue pribadi, sih, nggak pernah malu ya buat mengeluarkan statement klise seperti:
Tidak punya pilihan itu pun sebuah pilihan. Seperti memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan. Seperti “kosong” adalah ada… Whoa, existentialist much?

Seperti bernapas, misalnya kita mau berdalih dengan involuntary action yang dilakukan oleh anatomi tubuh manusia. Apakah bernapas merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak untuk dilakukan manusia atau sebuah pilihan? Apakah manusia bernapas, maka ia hidup? Atau manusia hidup, maka ia bernapas?
Kalau gue pribadi, ya, bernapas adalah pilihan. Manusia bisa saja untuk memilih untuk tidak bernapas. Caranya? Mati.

Kalau begitu, apa berarti tidak ada yang namanya freewill? Kebebasan untuk memilih? Apanya yang bebas kalau pilihannya terbatas oleh sesuatu yang ‘ada’? Bukan, bukan hanya ‘ada’ dalam konsep mundane, tetapi ‘ada’ dalam konsep. How should I say it?

Begini kurang lebihnya: apakah infinity itu sebuah ‘kebebasan’ atau hanya sekat lain yang membatas pernyataan ‘tidak terbatas’? Apakah infinity itu sebuah pernyataan untuk menyatakan partikel yang begitu luas dan banyak, sebuah bilangan yang belum terjangkau oleh otak manusia, atau kah infinity itu sebuah konsep ketidaktahuan yang disekat oleh kotak bilangan dan huruf yang belum bisa diurai oleh manusia?

Seseorang dalam kepala gue pernah bilang, “Segala sesuatu yang didefinisikan manusia adalah batasan.”
Gue setuju sekali.. Walaupun tidak sepenuhnya paham. Jadi apa? Limitless is a limitation, karena manusia mendefinisikan limitless dalam huruf dan angka?
"Huruf dan angka sendiri merupakan batasan paling dasar yang dibuat oleh manusia."

Duh. Bawel, ya, orang di dalam kepala gue? Annoyingly wise, istilahnya.


Am I being nonsense?
Gue mau membahas cogito ergo sum versus opto ergo sum, bukan esensi kebebasan.
Bagaimana dengan esensi berpikir yang diangkat oleh cogito ergo sum?
"I think, therefore I exist."
Siapa, sih, yang mau menyangkal kalau berpikir adalah kemampuan paling primitif manusia yang membedakan mereka dengan benda mati?
Siapa juga yang mau menyangkal kalau tanpa berpikir, manusia itu hanya gumpalan protein yang kebetulan punya jantung yang berdetak?

Berpikir dan memilih, both make human human (okay, weird phrase alert!). Jadi yang mana yang muncul lebih dulu? Berpikir untuk memilih? Atau memilih untuk berpikir?
Karena jika bergantung pada logika dasar, untuk memilih maka manusia harus berpikir. Namun konsep pilihan yang sudah gue sebutkan sebelumnya ikut menyatakan bahwa berpikir adalah sebuah pilihan, sehingga manusia harus memilih untuk berpikir. Jadi apakah kalimat “Manusia memilih untuk tidak berpikir.” adalah sebuah pernyataan yang bernilai benar?

"JADI MANA YANG LEBIH DULU?!"
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mungkin kita harus tanggalkan konsep yang membuat ‘memilih’ dan ‘berpikir’ menjadi dua hal yang berbeda.
Kita harus melihat dua hal tersebut sebagai sebuah scattered concept (kalau tidak mau dibilang sirkular) yang membentuk sebuah jaringan kesinambungan. Apa istilahnya? Tangled Hierarchy? Gue lupa. Intinya adalah butuh kemampuan holistik yang memungkinkan kita untuk melihat dari luar sistem ‘berpikir’ dan ‘memilih’ untuk bisa memahami mana yang keluar lebih dulu.
Mata langit, ya istilahnya?

Tetapi yang jadi masalah adalah kita adalah sistem tersebut. Manusia bergerak sebagai sebuah jaringan yang ‘berpikir’ dan ‘memilih’. Mungkinkah ada masanya seorang manusia bisa menarik diri keluar dari  lingkaran dan melihat dari kejauhan untuk menentukan esensi ‘berpikir’ dan ‘memilih’?
Tidak menjawab sama sekali, ya? Mungkin harus jadi Tuhan untuk bisa menjawabnya, tetapi jelas jawaban ‘harus menjadi Tuhan untuk bisa menjawabnya’ itu bukan jawaban valid.
I hate dualism *desperate sigh*

PS: Ternyata ilmuwan sudah bisa menentukan mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Jawabannya adalah telur, karena katanya ayam mengandung senyawa yang.. gue juga kurang paham ya hahaha. Mungkin bisa dibaca di sini. Tetapi mungkin ilmuwan itu lupa ada transcendence being yang bisa menciptakan segalanya. Tapi ilmuwan itu kan membuat pernyataan berdasarkan fakta ilmiah, iya nggak, sih?

PS.2: PS di atas tidak ada hubungannya dengan cogito ergo sum versus opto ergo sum. Tulisan gue di sini berasumsi bahwa ayam dan telur masih menjadi sebuah lingkaran setan.

PS.3: Mungkin jadi PS yang agak panjang. Gue ingat sebuah gambar yang dikirim oleh teman gue, tapi gue lupa simpan di mana, makanya nggak bisa gue bagikan di sini hahaha.
Jadi gambar itu menunjukkan sebuah jalinan kawat yang membentuk rangka manusia. Di dalamnya berisi batu-batu. Dan di caption-nya tertulis sebuah tulisan yang intinya, Tuhan membuat batasan untuk menjadikan manusia-manusia, coba bayangkan kalau rangka itu tidak ada.
Gue separuh setuju, separuh tidak. Maklum, masih labil.
Gue masih menganut ajaran yang membuat gue percaya pada transcendence being, intinya gue percaya Tuhan itu ada.
Namun apa batasan itu memang dibuat olehNya atau manusia sendiri yang menetapkan batasan itu?
Gue tahu pertanyaan itu tidak mungkin dijawab, kecuali tiba-tiba Tuhan datang di hadapan gue dan memberikan pada gue jawabannya.. Which is impossible?
Intinya adalah..
Jangan membuat pernyataan ataupun jawaban yang mengatas namakan Tuhan.
"Tuhan tidak suka kalau kamu ini", "Tuhan tidak suka kalau kamu itu"… Blah! Memang punya kuasa apa manusia fana menjadi jubirNya? Nabi bukan, utusan langsung bukan…
…apa gue menyulut api? Hahaha.

PS.4: Gue tiba-tiba teringat pernyataan berbahaya yang pernah dikatakan temen gue. Ini benar-benar berbahaya, serius. Seperti menyiram bensin pada api yang tersulut. Tetapi mau tidak mau, gue ikut tertawa waktu itu.

Jadi, sepupu gue bertanya:
"Kalau sekarang tiba-tiba ada orang yang mengaku nabi, kamu bakal percaya nggak?"
Gue jawab, tidak.

Sepupu gue tertawa. “Orang-orang jaman dulu itu sudah kenal skizofernia belum, ya?”
Waktu itu, gue langsung tahu arah pembicaraannya.
Sepupu gue melanjutkan, “Kalau ada orang di jaman sekarang yang mengaku nabi, orang-orang pasti menganggap dia sakit jiwa. Mungkin paranoid, skizofernia, atau delusi. Kalau para nabi terdahulu itu ada di jaman sekarang atau orang-orang zaman dulu mengerti tentang penyakit kejiwaan tersebut, apa mereka masih bisa percaya perkataan para nabi itu?”

Gue tertawa.
Gue tahu, gue jelas-jelas kemungkinan bakal dibakar di neraka nanti.
Gue tahu banyak orang yang bisa membalas pernyataan itu dengan smart dan classy. Gue tahu banyak orang yang pingin bertukar tempat dengan gue dan membalas pernyataan sepupu gue itu.

Maaf ya, gue terlihat seperti believer yang serba nanggung dan membuat suatu kepercayaan terdengar seperti olok-olok dan gue tidak bisa mempertahankannya.
Maaf juga buat Kanjeng Gusti dan Kanjeng Nabi.
Maaf buat para Abdi Allah dan HambaNya.
Maaf buat bumi, gue berdiri di sini cuma buat menghabiskan oksigen.

Then, sekarang gue masuk fase self-deprimental.
Good day, people!

Jumat, 07 Maret 2014

Layak dan pantas.

Gue selalu bertanya-tanya apa yang bisa disebut dengan "layak" dan "pantas"?

Apakah jika setiap orang meniru dan melakukan hal yang sama terus selama berulang-ulang?

Atau apakah ketika sekelompok orang memutuskan bahwa itu memang harus dan seharusnya dilakukan oleh orang lain?

Bagaimana jika ukuran "pantas" dan "layak" buat orang lain adalah dengan mengenakan bangkai burung diatas kepala lo?

Atau dengan menggunakan kapur untuk memutihkan kulit lo karena apa yang dianggap "pantas" dan "layak" adalah ketika kulitmu menjadi bersemu merah dan bukan kecoklatan?

Seperti apakah norma? Dan garis yang memisahkan antara orang 'biasa' dan orang 'aneh' bekerja?

Bukankah ketika norma berkata bahwa hubungan antara laki-laki dan laki-laki itu wajar tentu lo akan berpikir kalau memiliki pasangan perempuan adalah hal yang dibatas kewajaran dan melanggar norma?

Bahkan ketika keperawanan harus dilepaskan di umur 13 tahun misalnya, tentu lo akan mengendus dan berkata bahwa orang lain ketika mereka masih perjaka di usia menginjak 40 tahun.

Jadi, bagaimana?

Norma itu apa? Pemisah yang seperti apa?

Jadi menjadi berbeda, menjadi atheis, agnostik, lesbian, homo, pagan, adalah yang melanggar norma?

Dan yang beragama, heterogen, dan komunal adalah yang "pantas"?

Bagaimana kalau begini saja, gue manusia.
Lo manusia. Kita manusia.

Yang membedakan adalah pilihan masing-masing dan bagaimana memperlakukan orang lain secara adil dan setara.

Selesai, kan?

Kamis, 06 Maret 2014

Pertanyaan hidup

Ada begitu banyak pertanyaan di dalam hidup ini. Ada berjuta yang bahkan nggak bisa gue jawab. Pertanyaan yang paling besar dan yang tak pernah terjawab sampai saat ini, bahkan satu clue pun nggak bisa gue temukan untuk sekedar memberi petunjuk atas jawaban dari pertanyaan tentang hidup dan mati manusia. Bisa dikatakan bahwa segala yang ada di dunia ini penuh dengan pertanyaan.
Disini gue berdiskusi dengan alam yang lirih, kenapa matahari terbit menghangatkan bumi?
Dan kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?
Satu pertanyaan yang paling besar yang ada dalam hidup gue. Kenapa gue terlahir di dunia ini? Untuk apa gue lahir? Apa yang Tuhan pikirkan saat dia mengirimkan gue untuk terlahir menjadi seorang manusia di dunia ini? Atau sebenarnya gue yang meminta oleh Tuhan untuk dilahirkan ke dunia ini?
Sama seperti pertanyaan lain, mengapa manusia harus hidup meski akhirnya semua berujung kepada kematian? Toh, apalah artinya hidup di saat kematian pasti menjadi ujung dari satu kehidupan.
“Buat aku itu sama sekali nggak adil. Kenapa orang yang sebaik dia harus lahir di keluarga yang akhirnya malah ngancurin hidup dia. Kenapa dia harus menderita cuma karena saudara-saudaranya. Dia nggak salah apa-apa tapi dia yang harus ngorbanin semuanya termasuk penghidupan dia sendiri demi saudaranya yang bahkan nggak mikirin keadaaan dia sama sekali. Bahkan akhirnya gue pikir, di saat dia sakit. Ada baiknya Tuhan sekarang udah manggil dia karena dia nggak perlu menderita lebih lama di dunia ini. Dia nggak perlu lagi rasain semua sakit baik karena disakiti oleh orang lain maupun sakit dari penyakitnya sendiri.”
Mendengar itu semua gue cuman bisa terdiam. Kadang sedih rasanya saat kita tahu di sekitar kita atau bahkan seseorang di dalam keluarga kita merupakan orang yang sebegitu baiknya sampai-sampai dia tidak akan peduli dengan dirinya sendiri namun dan akan mengorbankan apapun yang dia punya demi saudara-saudaranya.
Terasa tidak adil. Bahkan seorang yang gue kenal yang sebelumnya berbicara tentang ayahnya dan konflik dalam keluarganya juga berkata. “Apa yang adil di dunia ini? Orang-orang kayak mereka akhirnya cuma mementingkan keadaan mereka sendiri sedangkan dia membiarkan orang lain hancur. Pada akhirnya mereka mengambil keuntungan dari kematian seseorang demi kehidupan mereka sendiri tanpa memikirkan perasaan mereka yang telah sedang merasa kehilangan atas kepergian seseorang.”
Gue sendiri setuju dengan ini, dunia tidak akan pernah adil. Karena dunia itu masih dipenuhi dengan manusia-manusia yang mempunyai sifat dasar keegoisan.
Seperti salah seorang teman pernah berkata.
“Sama seperti saat oma gak ada. Tanteku yang dari (dia menyebutkan nama suatu tempat) tidak membicarakan sama sekali masalah oma akan dikubur atau pun dikremasi , bahkan masalah-masalah teknis mengenai wafatnya oma pun tak dia bicarakan. Yang menjadi fokus perhatiannya hanyalah seberapa besar warisan yang akan dia dapatkan.”
Sedih kadang, kematian seseorang malah dijadikan alasan untuk mengeruk keuntungan. Apakah fokus kehidupan kita sebegitu kecil dan mininya. Hanya berkisar antara uang, harta, dan warisan. Jika memang begitu. Lantas kenapa kita harus hidup untuk mencintai orang lain, mencintai keluarga kita, mencintai teman-teman dan menghargai mereka.
Entah kenapa, ada sebagian, entah sebagian kecil atau sebagian besar, dari manusia di dunia ini hanya memfokuskan diri kepada uang dan kekayaan. 

Selasa, 04 Maret 2014

Back to our normal lives

And now we’re supposed to go back to our normal lives. That’s what people do. They have these amazing experiences with another person, and then they just go home and clean the bathroom or whatever.



When It Happens (Susane Colasanti)