Translate

Senin, 15 September 2014

Percaya nggak percaya

"Hello earth, how are you now today? Do you still trust them to protect you? Do you still believe they will do their job to take care of you? Well, I, myself do not trust them anymore, can’t believe in them anymore."


Kepercayaan, sepertinya terlalu berat untuk di bahas di hari yang capek ini. So? Gue kayanya cuma mau tulis sedikit tentang ‘percaya nggak percaya’ aja. Kasusnya ada banyak, kaya geng cewek-cewek yang sekarang lagi marak di sekitar gue. Dari dulu sih sebenernya, cewek itu emang sukanya nge-geng, gue kadang ada di satu diantaranya. Tapi lebih sering sendiri. Lebih sering gabung mana-mana dan nggak jadi anggota di salah satunya. Kenapa gue bahas ini pertama kali di sini? Karena cewek itu punya kebiasaan gosip, yang blak-blakan banget. Dari gosip biasanya kita tahu kalau, ternyata ada cewek yang biasanya agak nyentrik atau centil, atau manja, atau apa aja yang beda dari yang lain ternyata nggak disukai sama kebanyakan orang. Lalu orang-orang mulai gosipin dia, ngomongin di belakang, tapi di kenyataan tuh orang merasa dunianya baik-baik aja, merasa dunia masih berpihak padanya, karena semua orang emang cuma ngomongin di belakang.
Kemudian sebagai manusia normal pun gue berpikir,


Apakah orang-orang juga begitu ya ke gue?
Gosipin gue?
Ngomongin gue di belakang?
Siapa yang pernah tahu?!


Kasus selanjutnya adalah, menasihati hal-hal yang dia sendiri tidak melakukannya. Seperti polisi yang sebagai penegak hukum ternyata melanggar hukum juga di belakang, atau guru yang tidak melakukan hal-hal baik yang diajarkannya, atau seorang pemberi saran yang melanggar sarannya sendiri? Itu semua terjadi di dunia ini, gue inget, seseorang pernah ngelarang gue pacaran sama orang dengan alasan agama tidak mengajarkan kita pacaran, tapi ternyata kemudian dia sendiri pacaran, tidak lama setelah menasihati gue untuk nggak pacaran. Kejadiannya kalau di film Becoming Jane itu, saat Lefroy bilang “I am lawyer. Justice plays no part in law," sambil ketawa. Sebel banget nggak sih kalau mereka kemudian bilang hal yang sebaliknya dari pencitraan mereka? Mereka melakukan hal sebaliknya dari apa yang mereka citrakan?

Baru dua kasus, gue udah susah percaya sana-sini. Ada banyak kasus yang mendukung, tapi hari ini adalah awal minggu dan bener-bener capek banget dari kemarin cukup banyak kerjaan. Tapi sejujurnya, gue masih nyaman sama sedikitnya atmosphere di dunia ini. Walaupun mereka cuma gosip, kadang itu yang bikin gue tenang kalau penilaian gue untuk beberapa orang ternyata nggak salah. Dan emang di dunia ini nggak ada yang sempurna, mereka yang nasihatin kalian itu ternyata emang masih labil juga, masih bisa salah juga. Gue mungkin udah susah percaya sama beberapa hal, tapi nyokap gue bilang, gue harus percaya yang benar, hati kecil kita tahu kok yang mana yang bener. Saat semuanya berurusan dengan percaya nggak percaya, gue cuma harus sedikit lebih peka mendengar kata hati kecil gue, sebijak mungkin gue liat jalan yang lurus.

Dan saat kemudian kalian ngeliat gue berbeda dengan gue yang di sini, bisakah kalian kasih tahu gue? Jangan ngomong di belakang, karena gue nggak akan pernah tahu yang salah dari gue, semoga gue juga bisa mengurangi kebiasaan ngomongin di belakang.


Follow your heart my dear friends, you will find your true way then, only you know, only you understand.

Kamis, 11 September 2014

Sesi buruk

Gue percaya banget kalo setiap orang bakal mengalami “sesi" buruk dalam hidup.
Apalagi kata orang-orang kalau mau sukses juga harus ngalamin dulu yang terpuruk-terpuruk gitu baru nanti akan sampe ke tingkat puncak dalam hidup. 
Awalnya nggak mau percaya, ya sederhananya berdoa aja lah semua digampangin, ya semoga dikabulin sama Tuhan.
Tapi setelah ngelihat keadaan sekitar, kenyataan sekitar, dan lalu balik ke realitanya, kalau ya… gimana bisa lo jadi orang berposisi tinggi dengan sukses apabila lo nggak ngerasain dulu jadi orang di posisi rendah? Gue pada akhirnya mau nggak mau percaya.
Masalahnya sekarang adalah: Nggak tau kenapa kok tiba-tiba jadi takut, gue bakalan nggak siap sama hal tersebut? Kalau nggak kuat dan salah pilih langkah terus tiba-tiba nggak menemukan titik terang dalam hidup gimana? Kalau ternyata kebahagiaan yang lagi dijalanin adalah justru titik terbawah dalam hidup, dan gue malah menikmatinya sehingga melupakan hal lain yang jauh lebih penting gimana? Kalau misalnya….. well, enough.
Sekarang kayaknya harus mengubah doa menjadi: “kuatkanlah pundakku" instead of “ringankanlah bebanku".

Selasa, 09 September 2014

Mungkin ada, mungkin masih.

"If I'm not there now, physically, I'm always before you, come what may."
            - Ingenue (Atoms For Peace)

Kenapa ya? Rasanya gue nggak punya banyak hal untuk dilakukan akhir-akhir ini.

Hahaha. Bohong sih, banyak kewajiban yang gue tunda padahal seharusnya diselesaikan.
Tapi ya, tau lah. Procrastination is bliss.

Gue punya banyak hal, yang berputar di kepala ini, menunggu untuk dikeluarkan sebelum keluar tanpa sengaja.

Kepala ini mirip komedi putar, semuanya ecstatic, ada musik yang sahut-sahutan bersama suara ceria anak-anak kecil yang rusuh.

Atau bisa juga mirip suara stasiun. Kereta api baru datang, tapi sebentar pergi. Orang-orang saling sapa dan bercengkrama untuk terakhir kali sampai entah kapan bertemu lagi, lalu pisah.

Semua sibuk di otak ini. Bahkan realitas, memori, khayalan, ekspektasi; sudah semakin membaur dan sulit untuk dipilah untuk dikenali.

Oh, mungkin yang harus pertama kali gue tulis adalah alasan kenapa gue pasang kalimat di awal tadi ya.

Karena...

Well, sedikit melankolis dan menjijikkan, mungkin.

Di salinan kalimat dari lagu itu tersimpan rasa, juga ekspektasi.

Mungkin benar, masih, entah sampai kapan.

Physically, gue nggak bisa ada di sekitar lo, tapi mungkin masih.

Mungkin.

Dan,

Gue sendiri kurang yakin bilang, unsur penyemangat penuh harapan itu masih ada, mungkin secuil. Atau bahkan tidak sama sekali.

Dulu, masih mungkin gue ada.

Dan gue baru menemukan, bahwa,

"You can't just show up when you just messed up."

Mungkin lo sama.

You can't stand me, so you left.

Even though I'm the one who messed up.

Dan mungkin ketika,

Lo meniup semua biji dandelion, semuanya terbang jauh lalu lenyap.

Mungkin...

Jumat, 05 September 2014

Angin dan Debu

"There are some people who came to your life, don't meant to stay, they just passerby(s) but some will willing to do anything to make you stay in their world."

And that’s absolution.

Even a sacral marriage sometimes doesn't work to make someone stay. I learned a lot.. dari kamu, Angin dan kamu, Debu.

Angin dan debu membuat aku belajar dengan cara yang berbeda. Angin membuat aku selalu sejuk, tapi ketika dia hilang, aku merasakan dingin yang tiada tara, tiada siapa sanggup membuat aku tidak menunggu lagi datangnya angin.
Debu, tentu, dulu ia bukan debu, dulunya ia sesuatu. Sesuatu yang baik, yang lalu terbakar, yang tertinggal hanya debu, dan hal yang tidak di inginkan lagi olehku.
Angin selalu aku damba, sebagaimana angin di pinggir pantai indah yang kita lihat bersama di masa lampau, dan kita berdua sama-sama penyuka keindahan, tapi kita melihat keindahan dengan cara berbeda. Jika aku penikmat keindahan, dia adalah angin yang suka merusak keindahan karena terlalu mendambakan keindahan.

Dalam hidup, kita pasti ada satu jenis angin yang suka membuat keributan, tapi tak tahu kenapa, toh kita candu terhadap keributan yang angin buat.

Pernah aku dulu selalu tidak pernah lupa dengan angin, angin sejuknya selalu ku rindu, dan selalu di rindu tidak hanya olehku tetapi juga orang-orang yang menyayangiku, karena mereka dengan sok tahu nya menganggap angin yang terbaik untuk aku, dan aku pun pernah berpikir seperti itu, karena aku pikir keindahan logika dan hatiku akan bisa disejukkan dan dijaganya dengan baik.
Namun ada saatnya sang angin membawa badai yang mampu merusak keindahan pikiranku. Pikiran yang imajinatif ini, disapu bersih oleh badai, padahal jika dia tahu imajinasiku, kemana pun, adalah serta merta dengan dia juga. Bukan dengan diriku sendiri, dan ini cerita bagaimana angin merusak keindahan pikiran dan logikaku.

Sore itu angin membawa gambar gembira dengan kesejukan khas yang membawa aku pergi dari kepenatan, aku yang telah lelah dihempas angin dan terlalu lelah menutup mata karena angin itu selalu berusaha menutupi penglihatanku. Aku tahu perubahan temperature akan membuat angin berubah menjadi badai,  but I took that risk, for the first time in my life I said to myself "I need to get a break, I think I deserve one, cause life has drag me down, and I need my little wind."
Benar saja apa perkiraanku, dia dapat berubah menjadi badai, well, aku kira dia telah berubah dan lelah menjadi perusak, tapi ternyata tidak, angin terlalu egois, dia mengetahui dia sejuk dan banyak yang ingin merasakan kesejukannya, finally saat dia telah memerangkap keindahan, penjelmaannya hilang.
Aku sudah beratus-ratus kali menghadapi angin badai yang sama, yang ini yang paling besar dan pemarah yang aku kenal, aku bukan pawangnya, tapi aku pernah jadi matahari nya. Sampai di ujung pertemuan sebelum hujan, angin berpamitan, tanpa meminta maaf, tanpa berterima kasih. Dan memang itulah angin, tidak pernah berpamitan.

Dan itu adalah hari terakhir aku menghadapi angin, aku tidak lagi mendamba angin. Mungkin aku selalu rindu kesejukannya di panas yang terik, tapi bukan angin yang aku butuhkan untuk membuat aku menjadi kuat, aku membutuhkan satu bagian dari galaksi yang belum menemukan aku. Satu bagian dari galaksi yang akan mengelilingi aku dengan cahayanya tanpa lelah, tidak perduli hari hujan atau terik, akan selalu ada untuk berkata “Hai bagaimana harimu?"

Itu adalah cerita sang angin, cerita si debu?
Well… Debu dulu adalah hal baik yang sangat aku percaya, sampai salahku untuk membakarnya terlalu cepat, seharusnya aku membakarnya pelan-pelan dan memberinya waktu untuk beradaptasi dengan api ku, tapi aku terlalu tidak sabar, sampai akhirnya dia tertinggal sebagai debu.
Debu mengajari banyak hal dengan waktu yang cepat, sama sepertiku.
Dia memberi aku kobaran api yang besar juga cepat. api itu membakar sampai ke rusuk, sampai sekarang pun hatiku masih dapat merasakan hangatnya, entah itu hangat dari api si debu atau hangatnya kemarahanku.

"Tahukah kamu debu, aku pernah tulus padamu, sampai kita berdua berlomba membakar satu sama lain."

Aku tidak sempurna, kamu pun juga.

Aku hanya kecewa,

Bahwa,

Api yang kau sulut padaku bukan karena kamu mau melihat seberapa kuat aku dengan panasnya api mu, tapi kamu memang hanya ingin membakar aku, dan kamu memang berharap aku terbakar habis dan menyerah.
Bagian-bagian debu yang tertinggal masih memenuhi pelupuk mataku, tapi tidak menutupi penglihatanku lagi, karena sudah ada cahaya sekarang yang dibawa oleh beberapa bintang di langit ku, dan kebetulan api itu sudah padam, api itu kau padamkan karena aku berteriak “Sudah. Aku Pergi…" bukan karena aku berteriak kesakitan.

Setidaknya sekarang aku tahu aku mampu menahan panasnya api mu, dan selamat dari api itu, membuat aku lebih kuat, dan aku tidak akan menjadi debu seperti kamu. Mungkin aku yang membuat kamu menjadi debu karena membakarmu, tapi kamu selalu punya pilihan, tapi kamu hanya beralasan keadaan tidak memihak, sebenarnya itulah kenapa kamu menjadi debu, bukan besi yang lebih kuat karena dipanaskan. Tapi ketahuilah debu, terima kasih banyak atas semua api yang kau sulut, membakarku, penuh luka memang,  toh aku bisa sembuhkan luka ini.

Aku memilih untuk tidak dikalahkan keadaan seperti kamu, bukan, aku bukan yang kalah, dan kamu bukan pemenang.  Hanya saja di akhir cerita aku kuat dan kamu lemah.
Dan satu lagi pelajaran, Bahwa adanya angin, ataupun sesuatu yang menyenangkan, tidak selalu bisa mengisi cawan cawan yang ingin di isi, terkadang, kita sendiri yang harus giat menyenangkan hati orang lain untuk mengisi cawan yang ada.

And last, I know it's a wild world, this story is not a sad story, not a love story, just a part of my crumbles. My crumbles that’s sweet and used to be bigger cookies, not just crumbles. And then know it's my crumbles and I’m still keep it.