Translate

Senin, 15 September 2014

Percaya nggak percaya

"Hello earth, how are you now today? Do you still trust them to protect you? Do you still believe they will do their job to take care of you? Well, I, myself do not trust them anymore, can’t believe in them anymore."


Kepercayaan, sepertinya terlalu berat untuk di bahas di hari yang capek ini. So? Gue kayanya cuma mau tulis sedikit tentang ‘percaya nggak percaya’ aja. Kasusnya ada banyak, kaya geng cewek-cewek yang sekarang lagi marak di sekitar gue. Dari dulu sih sebenernya, cewek itu emang sukanya nge-geng, gue kadang ada di satu diantaranya. Tapi lebih sering sendiri. Lebih sering gabung mana-mana dan nggak jadi anggota di salah satunya. Kenapa gue bahas ini pertama kali di sini? Karena cewek itu punya kebiasaan gosip, yang blak-blakan banget. Dari gosip biasanya kita tahu kalau, ternyata ada cewek yang biasanya agak nyentrik atau centil, atau manja, atau apa aja yang beda dari yang lain ternyata nggak disukai sama kebanyakan orang. Lalu orang-orang mulai gosipin dia, ngomongin di belakang, tapi di kenyataan tuh orang merasa dunianya baik-baik aja, merasa dunia masih berpihak padanya, karena semua orang emang cuma ngomongin di belakang.
Kemudian sebagai manusia normal pun gue berpikir,


Apakah orang-orang juga begitu ya ke gue?
Gosipin gue?
Ngomongin gue di belakang?
Siapa yang pernah tahu?!


Kasus selanjutnya adalah, menasihati hal-hal yang dia sendiri tidak melakukannya. Seperti polisi yang sebagai penegak hukum ternyata melanggar hukum juga di belakang, atau guru yang tidak melakukan hal-hal baik yang diajarkannya, atau seorang pemberi saran yang melanggar sarannya sendiri? Itu semua terjadi di dunia ini, gue inget, seseorang pernah ngelarang gue pacaran sama orang dengan alasan agama tidak mengajarkan kita pacaran, tapi ternyata kemudian dia sendiri pacaran, tidak lama setelah menasihati gue untuk nggak pacaran. Kejadiannya kalau di film Becoming Jane itu, saat Lefroy bilang “I am lawyer. Justice plays no part in law," sambil ketawa. Sebel banget nggak sih kalau mereka kemudian bilang hal yang sebaliknya dari pencitraan mereka? Mereka melakukan hal sebaliknya dari apa yang mereka citrakan?

Baru dua kasus, gue udah susah percaya sana-sini. Ada banyak kasus yang mendukung, tapi hari ini adalah awal minggu dan bener-bener capek banget dari kemarin cukup banyak kerjaan. Tapi sejujurnya, gue masih nyaman sama sedikitnya atmosphere di dunia ini. Walaupun mereka cuma gosip, kadang itu yang bikin gue tenang kalau penilaian gue untuk beberapa orang ternyata nggak salah. Dan emang di dunia ini nggak ada yang sempurna, mereka yang nasihatin kalian itu ternyata emang masih labil juga, masih bisa salah juga. Gue mungkin udah susah percaya sama beberapa hal, tapi nyokap gue bilang, gue harus percaya yang benar, hati kecil kita tahu kok yang mana yang bener. Saat semuanya berurusan dengan percaya nggak percaya, gue cuma harus sedikit lebih peka mendengar kata hati kecil gue, sebijak mungkin gue liat jalan yang lurus.

Dan saat kemudian kalian ngeliat gue berbeda dengan gue yang di sini, bisakah kalian kasih tahu gue? Jangan ngomong di belakang, karena gue nggak akan pernah tahu yang salah dari gue, semoga gue juga bisa mengurangi kebiasaan ngomongin di belakang.


Follow your heart my dear friends, you will find your true way then, only you know, only you understand.

Kamis, 11 September 2014

Sesi buruk

Gue percaya banget kalo setiap orang bakal mengalami “sesi" buruk dalam hidup.
Apalagi kata orang-orang kalau mau sukses juga harus ngalamin dulu yang terpuruk-terpuruk gitu baru nanti akan sampe ke tingkat puncak dalam hidup. 
Awalnya nggak mau percaya, ya sederhananya berdoa aja lah semua digampangin, ya semoga dikabulin sama Tuhan.
Tapi setelah ngelihat keadaan sekitar, kenyataan sekitar, dan lalu balik ke realitanya, kalau ya… gimana bisa lo jadi orang berposisi tinggi dengan sukses apabila lo nggak ngerasain dulu jadi orang di posisi rendah? Gue pada akhirnya mau nggak mau percaya.
Masalahnya sekarang adalah: Nggak tau kenapa kok tiba-tiba jadi takut, gue bakalan nggak siap sama hal tersebut? Kalau nggak kuat dan salah pilih langkah terus tiba-tiba nggak menemukan titik terang dalam hidup gimana? Kalau ternyata kebahagiaan yang lagi dijalanin adalah justru titik terbawah dalam hidup, dan gue malah menikmatinya sehingga melupakan hal lain yang jauh lebih penting gimana? Kalau misalnya….. well, enough.
Sekarang kayaknya harus mengubah doa menjadi: “kuatkanlah pundakku" instead of “ringankanlah bebanku".

Selasa, 09 September 2014

Mungkin ada, mungkin masih.

"If I'm not there now, physically, I'm always before you, come what may."
            - Ingenue (Atoms For Peace)

Kenapa ya? Rasanya gue nggak punya banyak hal untuk dilakukan akhir-akhir ini.

Hahaha. Bohong sih, banyak kewajiban yang gue tunda padahal seharusnya diselesaikan.
Tapi ya, tau lah. Procrastination is bliss.

Gue punya banyak hal, yang berputar di kepala ini, menunggu untuk dikeluarkan sebelum keluar tanpa sengaja.

Kepala ini mirip komedi putar, semuanya ecstatic, ada musik yang sahut-sahutan bersama suara ceria anak-anak kecil yang rusuh.

Atau bisa juga mirip suara stasiun. Kereta api baru datang, tapi sebentar pergi. Orang-orang saling sapa dan bercengkrama untuk terakhir kali sampai entah kapan bertemu lagi, lalu pisah.

Semua sibuk di otak ini. Bahkan realitas, memori, khayalan, ekspektasi; sudah semakin membaur dan sulit untuk dipilah untuk dikenali.

Oh, mungkin yang harus pertama kali gue tulis adalah alasan kenapa gue pasang kalimat di awal tadi ya.

Karena...

Well, sedikit melankolis dan menjijikkan, mungkin.

Di salinan kalimat dari lagu itu tersimpan rasa, juga ekspektasi.

Mungkin benar, masih, entah sampai kapan.

Physically, gue nggak bisa ada di sekitar lo, tapi mungkin masih.

Mungkin.

Dan,

Gue sendiri kurang yakin bilang, unsur penyemangat penuh harapan itu masih ada, mungkin secuil. Atau bahkan tidak sama sekali.

Dulu, masih mungkin gue ada.

Dan gue baru menemukan, bahwa,

"You can't just show up when you just messed up."

Mungkin lo sama.

You can't stand me, so you left.

Even though I'm the one who messed up.

Dan mungkin ketika,

Lo meniup semua biji dandelion, semuanya terbang jauh lalu lenyap.

Mungkin...

Jumat, 05 September 2014

Angin dan Debu

"There are some people who came to your life, don't meant to stay, they just passerby(s) but some will willing to do anything to make you stay in their world."

And that’s absolution.

Even a sacral marriage sometimes doesn't work to make someone stay. I learned a lot.. dari kamu, Angin dan kamu, Debu.

Angin dan debu membuat aku belajar dengan cara yang berbeda. Angin membuat aku selalu sejuk, tapi ketika dia hilang, aku merasakan dingin yang tiada tara, tiada siapa sanggup membuat aku tidak menunggu lagi datangnya angin.
Debu, tentu, dulu ia bukan debu, dulunya ia sesuatu. Sesuatu yang baik, yang lalu terbakar, yang tertinggal hanya debu, dan hal yang tidak di inginkan lagi olehku.
Angin selalu aku damba, sebagaimana angin di pinggir pantai indah yang kita lihat bersama di masa lampau, dan kita berdua sama-sama penyuka keindahan, tapi kita melihat keindahan dengan cara berbeda. Jika aku penikmat keindahan, dia adalah angin yang suka merusak keindahan karena terlalu mendambakan keindahan.

Dalam hidup, kita pasti ada satu jenis angin yang suka membuat keributan, tapi tak tahu kenapa, toh kita candu terhadap keributan yang angin buat.

Pernah aku dulu selalu tidak pernah lupa dengan angin, angin sejuknya selalu ku rindu, dan selalu di rindu tidak hanya olehku tetapi juga orang-orang yang menyayangiku, karena mereka dengan sok tahu nya menganggap angin yang terbaik untuk aku, dan aku pun pernah berpikir seperti itu, karena aku pikir keindahan logika dan hatiku akan bisa disejukkan dan dijaganya dengan baik.
Namun ada saatnya sang angin membawa badai yang mampu merusak keindahan pikiranku. Pikiran yang imajinatif ini, disapu bersih oleh badai, padahal jika dia tahu imajinasiku, kemana pun, adalah serta merta dengan dia juga. Bukan dengan diriku sendiri, dan ini cerita bagaimana angin merusak keindahan pikiran dan logikaku.

Sore itu angin membawa gambar gembira dengan kesejukan khas yang membawa aku pergi dari kepenatan, aku yang telah lelah dihempas angin dan terlalu lelah menutup mata karena angin itu selalu berusaha menutupi penglihatanku. Aku tahu perubahan temperature akan membuat angin berubah menjadi badai,  but I took that risk, for the first time in my life I said to myself "I need to get a break, I think I deserve one, cause life has drag me down, and I need my little wind."
Benar saja apa perkiraanku, dia dapat berubah menjadi badai, well, aku kira dia telah berubah dan lelah menjadi perusak, tapi ternyata tidak, angin terlalu egois, dia mengetahui dia sejuk dan banyak yang ingin merasakan kesejukannya, finally saat dia telah memerangkap keindahan, penjelmaannya hilang.
Aku sudah beratus-ratus kali menghadapi angin badai yang sama, yang ini yang paling besar dan pemarah yang aku kenal, aku bukan pawangnya, tapi aku pernah jadi matahari nya. Sampai di ujung pertemuan sebelum hujan, angin berpamitan, tanpa meminta maaf, tanpa berterima kasih. Dan memang itulah angin, tidak pernah berpamitan.

Dan itu adalah hari terakhir aku menghadapi angin, aku tidak lagi mendamba angin. Mungkin aku selalu rindu kesejukannya di panas yang terik, tapi bukan angin yang aku butuhkan untuk membuat aku menjadi kuat, aku membutuhkan satu bagian dari galaksi yang belum menemukan aku. Satu bagian dari galaksi yang akan mengelilingi aku dengan cahayanya tanpa lelah, tidak perduli hari hujan atau terik, akan selalu ada untuk berkata “Hai bagaimana harimu?"

Itu adalah cerita sang angin, cerita si debu?
Well… Debu dulu adalah hal baik yang sangat aku percaya, sampai salahku untuk membakarnya terlalu cepat, seharusnya aku membakarnya pelan-pelan dan memberinya waktu untuk beradaptasi dengan api ku, tapi aku terlalu tidak sabar, sampai akhirnya dia tertinggal sebagai debu.
Debu mengajari banyak hal dengan waktu yang cepat, sama sepertiku.
Dia memberi aku kobaran api yang besar juga cepat. api itu membakar sampai ke rusuk, sampai sekarang pun hatiku masih dapat merasakan hangatnya, entah itu hangat dari api si debu atau hangatnya kemarahanku.

"Tahukah kamu debu, aku pernah tulus padamu, sampai kita berdua berlomba membakar satu sama lain."

Aku tidak sempurna, kamu pun juga.

Aku hanya kecewa,

Bahwa,

Api yang kau sulut padaku bukan karena kamu mau melihat seberapa kuat aku dengan panasnya api mu, tapi kamu memang hanya ingin membakar aku, dan kamu memang berharap aku terbakar habis dan menyerah.
Bagian-bagian debu yang tertinggal masih memenuhi pelupuk mataku, tapi tidak menutupi penglihatanku lagi, karena sudah ada cahaya sekarang yang dibawa oleh beberapa bintang di langit ku, dan kebetulan api itu sudah padam, api itu kau padamkan karena aku berteriak “Sudah. Aku Pergi…" bukan karena aku berteriak kesakitan.

Setidaknya sekarang aku tahu aku mampu menahan panasnya api mu, dan selamat dari api itu, membuat aku lebih kuat, dan aku tidak akan menjadi debu seperti kamu. Mungkin aku yang membuat kamu menjadi debu karena membakarmu, tapi kamu selalu punya pilihan, tapi kamu hanya beralasan keadaan tidak memihak, sebenarnya itulah kenapa kamu menjadi debu, bukan besi yang lebih kuat karena dipanaskan. Tapi ketahuilah debu, terima kasih banyak atas semua api yang kau sulut, membakarku, penuh luka memang,  toh aku bisa sembuhkan luka ini.

Aku memilih untuk tidak dikalahkan keadaan seperti kamu, bukan, aku bukan yang kalah, dan kamu bukan pemenang.  Hanya saja di akhir cerita aku kuat dan kamu lemah.
Dan satu lagi pelajaran, Bahwa adanya angin, ataupun sesuatu yang menyenangkan, tidak selalu bisa mengisi cawan cawan yang ingin di isi, terkadang, kita sendiri yang harus giat menyenangkan hati orang lain untuk mengisi cawan yang ada.

And last, I know it's a wild world, this story is not a sad story, not a love story, just a part of my crumbles. My crumbles that’s sweet and used to be bigger cookies, not just crumbles. And then know it's my crumbles and I’m still keep it.

Kamis, 10 Juli 2014

Mau hidup adil?

"Ah… Hidup memang tidak adil!"… Atau kerennya “Ah… life is not fair!"
Beberapa hari ini telinga gue sering bersinggungan dengan kalimat itu dari bibir orang.. Mulai dari orang tidak kenal, orang baru kenal, orang sekedar kenal, orang kenal, sampai orang sangat kenal.

Ramai sekali yang bicara hal yang itu lagi.. Itu lagi…

Benar sih memang. Hidup tidak pernah adil.

Orang kurang ajar bisa gonta-ganti pasangan seenak ngebalikin telapak tangan.

Orang bego bisa kaya dari warisan orang tua tanpa harus kerja keras. Sekolah malah sering bolos buat nongkrong ke mall.

Orang yang rajin sekolah kebanyakan yang kurang mampu secara finansial. Sehabis kuliah harus kerja lagi untuk menafkahi pendidikan, plus keluarga. Begitu sekolah, pemerintah peduli juga enggak. Dimodalin nggak, dicemooh iya. Ujung-ujungnya ketemu tempat peraduan yang salah, malah jadi teroris.

Pejabat yang kelakuannya minus. Rumahnya bererotan di mana-mana. Makin minus saja kalau diperhatikan.

Lah pegawai yang kerja sampai tidur saja lupa, rumahnya ngontrak.. Dua kali dua meter. Genteng bocor, kamar mandi banyak kecoak, listrik nyala padam, tetangganya cabul pula.

Anak bengal punya ayah bisa jadi teladan. Ayahnya bisa kasih warisan perusahaan. Anaknya sesat, dituntun ke jalan yang benar biar balik jadi orang hebat.

Anak baik-baik. Berbakti sepenuh hati. Sekolah sampai mau muntah. Kerja rodi sampai mau mati. Punya orang tua tukang tipu, tukang ngutang, ketambahan suka selingkuh.

Sederhananya lagi…

Kita suka seseorang.. Lagi dipikirin sepanjang hari sampai bego.. Kontak setengah bloon sampai habis pulsa… Yang dikontak ngabur ke mana tahu. Giliran sudah dilupakan.. Orangnya nongol dengan senyuman paling manis.

Iya, kan?

Hidup memang tidak adil… YEAH LIFE IS NOT FAIR, saudara-saudara!
Ketika gue sudah mulai meninggalkan rangkaian kata itu di mana-mana..

Gue sih hanya berpikir sesederhana bicara begini….

"Kalau hidup itu adil.. memangnya menarik?"
Kalau semua orang merasa tenang karena semua yang dia dapatkan sudah setimpal dengan apa yang dia lakukan..

Tentu setiap orang akan merasa cukup.. Setiap orang akan merasa stabil.

Ujung-ujungnya… Orang senang…

Apa iya?

Coba dibayangkan lagi…

Pasti yang ada adalah sekumpulan manusia yang tidak melakukan apa-apa lagi. Hanya menjalani hidup dan tidak mengusahakan apa-apa terlalu gigih. Tidak ada pencapaian yang ingin diraih. Tidak ada hal yang ingin diperjuangkan, apalagi bersaing untuk memperebutkan sesuatu.

Tidak ada kompetisi… Tidak ada lagi inovasi.

Ujung-ujung dari ujung-ujungnya lagi… Pasti orang-orang ngeluh… Bosan…

Iya loh..

Kalau hidup ini adil… Apa lagi yang kita cari dalam hidup? Kita semua sudah dapat sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita semua memperoleh sesuai dengan yang kita kerjakan.

Setimpal dan utopis.

Kita merasa cukup.. Merasa cukup sekali.. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan untuk masa depan.

Bosan ya?

Iya banget..

Ribut terus hidup tidak adil.. Memang adil itu apa sih?

Sama rata? Bukan
Bahagia semua? Bukan
Sesuai harapan? Juga bukan

Adil itu… Istrinya raja.. Dari jaman kerajaan sampai sekarang juga tidak jadi turun.

Ya sudahlah..

Toh mau bagaimana pun dunia ini.. orang selalu saja ada yang merasa tidak cukup.
Ya, kan?

Minggu, 23 Maret 2014

Cogito Ergo Sum vs. Opto Ergo Sum

Question of the day:
“Mana duluan: cogito ergo sum atau opto ergo sum?”

Seperti Ouroboros.
Cogito ergo sum adalah ungkapan Descartes yang kira-kira artinya "I think, therefore I exist." Sementara opto ergo sum itu semacam rip-off dari pernyataan Descartes yang berarti "I choose, therefore I exist."
Gue dan temen gue dulu beberapa kali membahas tentang esensi “memilih” atau esensi “membuat keputusan”. Gue sendiri agak lupa konklusinya bagaimana, tetapi satu hal yang masih gue pertanyakan sampai sekarang:
Adakah saat di mana manusia tidak mengambil keputusan?
Keputusan dibuat saat manusia ditawarkan oleh pilihan.

Jadi pertanyaannya gue ubah lagi:
Adakah saat di mana manusia tidak punya pilihan?
Gue pribadi, sih, nggak pernah malu ya buat mengeluarkan statement klise seperti:
Tidak punya pilihan itu pun sebuah pilihan. Seperti memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan. Seperti “kosong” adalah ada… Whoa, existentialist much?

Seperti bernapas, misalnya kita mau berdalih dengan involuntary action yang dilakukan oleh anatomi tubuh manusia. Apakah bernapas merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak untuk dilakukan manusia atau sebuah pilihan? Apakah manusia bernapas, maka ia hidup? Atau manusia hidup, maka ia bernapas?
Kalau gue pribadi, ya, bernapas adalah pilihan. Manusia bisa saja untuk memilih untuk tidak bernapas. Caranya? Mati.

Kalau begitu, apa berarti tidak ada yang namanya freewill? Kebebasan untuk memilih? Apanya yang bebas kalau pilihannya terbatas oleh sesuatu yang ‘ada’? Bukan, bukan hanya ‘ada’ dalam konsep mundane, tetapi ‘ada’ dalam konsep. How should I say it?

Begini kurang lebihnya: apakah infinity itu sebuah ‘kebebasan’ atau hanya sekat lain yang membatas pernyataan ‘tidak terbatas’? Apakah infinity itu sebuah pernyataan untuk menyatakan partikel yang begitu luas dan banyak, sebuah bilangan yang belum terjangkau oleh otak manusia, atau kah infinity itu sebuah konsep ketidaktahuan yang disekat oleh kotak bilangan dan huruf yang belum bisa diurai oleh manusia?

Seseorang dalam kepala gue pernah bilang, “Segala sesuatu yang didefinisikan manusia adalah batasan.”
Gue setuju sekali.. Walaupun tidak sepenuhnya paham. Jadi apa? Limitless is a limitation, karena manusia mendefinisikan limitless dalam huruf dan angka?
"Huruf dan angka sendiri merupakan batasan paling dasar yang dibuat oleh manusia."

Duh. Bawel, ya, orang di dalam kepala gue? Annoyingly wise, istilahnya.


Am I being nonsense?
Gue mau membahas cogito ergo sum versus opto ergo sum, bukan esensi kebebasan.
Bagaimana dengan esensi berpikir yang diangkat oleh cogito ergo sum?
"I think, therefore I exist."
Siapa, sih, yang mau menyangkal kalau berpikir adalah kemampuan paling primitif manusia yang membedakan mereka dengan benda mati?
Siapa juga yang mau menyangkal kalau tanpa berpikir, manusia itu hanya gumpalan protein yang kebetulan punya jantung yang berdetak?

Berpikir dan memilih, both make human human (okay, weird phrase alert!). Jadi yang mana yang muncul lebih dulu? Berpikir untuk memilih? Atau memilih untuk berpikir?
Karena jika bergantung pada logika dasar, untuk memilih maka manusia harus berpikir. Namun konsep pilihan yang sudah gue sebutkan sebelumnya ikut menyatakan bahwa berpikir adalah sebuah pilihan, sehingga manusia harus memilih untuk berpikir. Jadi apakah kalimat “Manusia memilih untuk tidak berpikir.” adalah sebuah pernyataan yang bernilai benar?

"JADI MANA YANG LEBIH DULU?!"
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mungkin kita harus tanggalkan konsep yang membuat ‘memilih’ dan ‘berpikir’ menjadi dua hal yang berbeda.
Kita harus melihat dua hal tersebut sebagai sebuah scattered concept (kalau tidak mau dibilang sirkular) yang membentuk sebuah jaringan kesinambungan. Apa istilahnya? Tangled Hierarchy? Gue lupa. Intinya adalah butuh kemampuan holistik yang memungkinkan kita untuk melihat dari luar sistem ‘berpikir’ dan ‘memilih’ untuk bisa memahami mana yang keluar lebih dulu.
Mata langit, ya istilahnya?

Tetapi yang jadi masalah adalah kita adalah sistem tersebut. Manusia bergerak sebagai sebuah jaringan yang ‘berpikir’ dan ‘memilih’. Mungkinkah ada masanya seorang manusia bisa menarik diri keluar dari  lingkaran dan melihat dari kejauhan untuk menentukan esensi ‘berpikir’ dan ‘memilih’?
Tidak menjawab sama sekali, ya? Mungkin harus jadi Tuhan untuk bisa menjawabnya, tetapi jelas jawaban ‘harus menjadi Tuhan untuk bisa menjawabnya’ itu bukan jawaban valid.
I hate dualism *desperate sigh*

PS: Ternyata ilmuwan sudah bisa menentukan mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Jawabannya adalah telur, karena katanya ayam mengandung senyawa yang.. gue juga kurang paham ya hahaha. Mungkin bisa dibaca di sini. Tetapi mungkin ilmuwan itu lupa ada transcendence being yang bisa menciptakan segalanya. Tapi ilmuwan itu kan membuat pernyataan berdasarkan fakta ilmiah, iya nggak, sih?

PS.2: PS di atas tidak ada hubungannya dengan cogito ergo sum versus opto ergo sum. Tulisan gue di sini berasumsi bahwa ayam dan telur masih menjadi sebuah lingkaran setan.

PS.3: Mungkin jadi PS yang agak panjang. Gue ingat sebuah gambar yang dikirim oleh teman gue, tapi gue lupa simpan di mana, makanya nggak bisa gue bagikan di sini hahaha.
Jadi gambar itu menunjukkan sebuah jalinan kawat yang membentuk rangka manusia. Di dalamnya berisi batu-batu. Dan di caption-nya tertulis sebuah tulisan yang intinya, Tuhan membuat batasan untuk menjadikan manusia-manusia, coba bayangkan kalau rangka itu tidak ada.
Gue separuh setuju, separuh tidak. Maklum, masih labil.
Gue masih menganut ajaran yang membuat gue percaya pada transcendence being, intinya gue percaya Tuhan itu ada.
Namun apa batasan itu memang dibuat olehNya atau manusia sendiri yang menetapkan batasan itu?
Gue tahu pertanyaan itu tidak mungkin dijawab, kecuali tiba-tiba Tuhan datang di hadapan gue dan memberikan pada gue jawabannya.. Which is impossible?
Intinya adalah..
Jangan membuat pernyataan ataupun jawaban yang mengatas namakan Tuhan.
"Tuhan tidak suka kalau kamu ini", "Tuhan tidak suka kalau kamu itu"… Blah! Memang punya kuasa apa manusia fana menjadi jubirNya? Nabi bukan, utusan langsung bukan…
…apa gue menyulut api? Hahaha.

PS.4: Gue tiba-tiba teringat pernyataan berbahaya yang pernah dikatakan temen gue. Ini benar-benar berbahaya, serius. Seperti menyiram bensin pada api yang tersulut. Tetapi mau tidak mau, gue ikut tertawa waktu itu.

Jadi, sepupu gue bertanya:
"Kalau sekarang tiba-tiba ada orang yang mengaku nabi, kamu bakal percaya nggak?"
Gue jawab, tidak.

Sepupu gue tertawa. “Orang-orang jaman dulu itu sudah kenal skizofernia belum, ya?”
Waktu itu, gue langsung tahu arah pembicaraannya.
Sepupu gue melanjutkan, “Kalau ada orang di jaman sekarang yang mengaku nabi, orang-orang pasti menganggap dia sakit jiwa. Mungkin paranoid, skizofernia, atau delusi. Kalau para nabi terdahulu itu ada di jaman sekarang atau orang-orang zaman dulu mengerti tentang penyakit kejiwaan tersebut, apa mereka masih bisa percaya perkataan para nabi itu?”

Gue tertawa.
Gue tahu, gue jelas-jelas kemungkinan bakal dibakar di neraka nanti.
Gue tahu banyak orang yang bisa membalas pernyataan itu dengan smart dan classy. Gue tahu banyak orang yang pingin bertukar tempat dengan gue dan membalas pernyataan sepupu gue itu.

Maaf ya, gue terlihat seperti believer yang serba nanggung dan membuat suatu kepercayaan terdengar seperti olok-olok dan gue tidak bisa mempertahankannya.
Maaf juga buat Kanjeng Gusti dan Kanjeng Nabi.
Maaf buat para Abdi Allah dan HambaNya.
Maaf buat bumi, gue berdiri di sini cuma buat menghabiskan oksigen.

Then, sekarang gue masuk fase self-deprimental.
Good day, people!

Jumat, 07 Maret 2014

Layak dan pantas.

Gue selalu bertanya-tanya apa yang bisa disebut dengan "layak" dan "pantas"?

Apakah jika setiap orang meniru dan melakukan hal yang sama terus selama berulang-ulang?

Atau apakah ketika sekelompok orang memutuskan bahwa itu memang harus dan seharusnya dilakukan oleh orang lain?

Bagaimana jika ukuran "pantas" dan "layak" buat orang lain adalah dengan mengenakan bangkai burung diatas kepala lo?

Atau dengan menggunakan kapur untuk memutihkan kulit lo karena apa yang dianggap "pantas" dan "layak" adalah ketika kulitmu menjadi bersemu merah dan bukan kecoklatan?

Seperti apakah norma? Dan garis yang memisahkan antara orang 'biasa' dan orang 'aneh' bekerja?

Bukankah ketika norma berkata bahwa hubungan antara laki-laki dan laki-laki itu wajar tentu lo akan berpikir kalau memiliki pasangan perempuan adalah hal yang dibatas kewajaran dan melanggar norma?

Bahkan ketika keperawanan harus dilepaskan di umur 13 tahun misalnya, tentu lo akan mengendus dan berkata bahwa orang lain ketika mereka masih perjaka di usia menginjak 40 tahun.

Jadi, bagaimana?

Norma itu apa? Pemisah yang seperti apa?

Jadi menjadi berbeda, menjadi atheis, agnostik, lesbian, homo, pagan, adalah yang melanggar norma?

Dan yang beragama, heterogen, dan komunal adalah yang "pantas"?

Bagaimana kalau begini saja, gue manusia.
Lo manusia. Kita manusia.

Yang membedakan adalah pilihan masing-masing dan bagaimana memperlakukan orang lain secara adil dan setara.

Selesai, kan?

Kamis, 06 Maret 2014

Pertanyaan hidup

Ada begitu banyak pertanyaan di dalam hidup ini. Ada berjuta yang bahkan nggak bisa gue jawab. Pertanyaan yang paling besar dan yang tak pernah terjawab sampai saat ini, bahkan satu clue pun nggak bisa gue temukan untuk sekedar memberi petunjuk atas jawaban dari pertanyaan tentang hidup dan mati manusia. Bisa dikatakan bahwa segala yang ada di dunia ini penuh dengan pertanyaan.
Disini gue berdiskusi dengan alam yang lirih, kenapa matahari terbit menghangatkan bumi?
Dan kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?
Satu pertanyaan yang paling besar yang ada dalam hidup gue. Kenapa gue terlahir di dunia ini? Untuk apa gue lahir? Apa yang Tuhan pikirkan saat dia mengirimkan gue untuk terlahir menjadi seorang manusia di dunia ini? Atau sebenarnya gue yang meminta oleh Tuhan untuk dilahirkan ke dunia ini?
Sama seperti pertanyaan lain, mengapa manusia harus hidup meski akhirnya semua berujung kepada kematian? Toh, apalah artinya hidup di saat kematian pasti menjadi ujung dari satu kehidupan.
“Buat aku itu sama sekali nggak adil. Kenapa orang yang sebaik dia harus lahir di keluarga yang akhirnya malah ngancurin hidup dia. Kenapa dia harus menderita cuma karena saudara-saudaranya. Dia nggak salah apa-apa tapi dia yang harus ngorbanin semuanya termasuk penghidupan dia sendiri demi saudaranya yang bahkan nggak mikirin keadaaan dia sama sekali. Bahkan akhirnya gue pikir, di saat dia sakit. Ada baiknya Tuhan sekarang udah manggil dia karena dia nggak perlu menderita lebih lama di dunia ini. Dia nggak perlu lagi rasain semua sakit baik karena disakiti oleh orang lain maupun sakit dari penyakitnya sendiri.”
Mendengar itu semua gue cuman bisa terdiam. Kadang sedih rasanya saat kita tahu di sekitar kita atau bahkan seseorang di dalam keluarga kita merupakan orang yang sebegitu baiknya sampai-sampai dia tidak akan peduli dengan dirinya sendiri namun dan akan mengorbankan apapun yang dia punya demi saudara-saudaranya.
Terasa tidak adil. Bahkan seorang yang gue kenal yang sebelumnya berbicara tentang ayahnya dan konflik dalam keluarganya juga berkata. “Apa yang adil di dunia ini? Orang-orang kayak mereka akhirnya cuma mementingkan keadaan mereka sendiri sedangkan dia membiarkan orang lain hancur. Pada akhirnya mereka mengambil keuntungan dari kematian seseorang demi kehidupan mereka sendiri tanpa memikirkan perasaan mereka yang telah sedang merasa kehilangan atas kepergian seseorang.”
Gue sendiri setuju dengan ini, dunia tidak akan pernah adil. Karena dunia itu masih dipenuhi dengan manusia-manusia yang mempunyai sifat dasar keegoisan.
Seperti salah seorang teman pernah berkata.
“Sama seperti saat oma gak ada. Tanteku yang dari (dia menyebutkan nama suatu tempat) tidak membicarakan sama sekali masalah oma akan dikubur atau pun dikremasi , bahkan masalah-masalah teknis mengenai wafatnya oma pun tak dia bicarakan. Yang menjadi fokus perhatiannya hanyalah seberapa besar warisan yang akan dia dapatkan.”
Sedih kadang, kematian seseorang malah dijadikan alasan untuk mengeruk keuntungan. Apakah fokus kehidupan kita sebegitu kecil dan mininya. Hanya berkisar antara uang, harta, dan warisan. Jika memang begitu. Lantas kenapa kita harus hidup untuk mencintai orang lain, mencintai keluarga kita, mencintai teman-teman dan menghargai mereka.
Entah kenapa, ada sebagian, entah sebagian kecil atau sebagian besar, dari manusia di dunia ini hanya memfokuskan diri kepada uang dan kekayaan. 

Selasa, 04 Maret 2014

Back to our normal lives

And now we’re supposed to go back to our normal lives. That’s what people do. They have these amazing experiences with another person, and then they just go home and clean the bathroom or whatever.



When It Happens (Susane Colasanti)

Jumat, 28 Februari 2014

Dia ada

Ada dia yang menunggu dengan setia, walau sering dilupakan, diacuhkan dan didiamkan berdebu.
Dia yang tidak pernah memanggil tidak bisa berkata cuma memandang.
Menunggu.
Dan akhirnya kamu kembali meliriknya saat tangismu mengalir di malam ini.
Bercerita tentang keluh kesahmu tentang dia, dikiaskan dalam kata-kata metafora. Demi mencari sebuah senyum dan tawa.
Yang jika ia sudah muncul, dia kembali menjadi penunggu setiamu. Berdebu dan usang.
Namun tak akan lelah menunggu.